Hari ini (05/11) BPS melaporkan, ekonomi Indonesia pada triwulan tiga 2015 tumbuh 4,73% terhadap triwulan tiga 2014. Ini peningkatan dibanding 4,67 % pertumbuhan pada triwulan sebelumnya (April-Juni), yang merupakan angka terendah selama enam tahun.
Laju pertumbuhan melambat dibanding capaian triwulan tiga tahun 2014, yang tumbuh 4,92%.
Berdasarkan pernyataan di situs resmi BPS, pertumbuhan didorong dari sisi produksi dan pengeluaran.
Dari sisi produksi, pertumbuhan didorong oleh hampir semua lapangan usaha. Capaian tertinggi ialah usaha Informasi dan Komunikasi, yang tumbuh 10,83 persen.
Sedangkan dari sisi pengeluaran, pertumbuhan tertinggi dicapai Komponen Pengeluaran Konsumsi Pemerintah sebesar 6,56%, diikuti Komponen Pengeluaran Konsumsi LNPRT dan Komponen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga.
Ekonom menyatakan kondisi perekonomian
Indonesia saat ini berada dalam keadaan yang lebih kompleks dibandingkan pada
2008.
Direktur Eksekutif Mandiri Institute
Destry Damayanti mengatakan permasalahan yang dihadapi sekarang dibandingkan
kondisi pada 2008 dan 2009 sangat berbeda karena kondisi perekonomian saat ini
justru lebih kompleks.
Pada 2008, Indonesia masuk dalam
kondisi krisis akibat kasus perumahan di Amerika Serikat (AS).
"Ekonomi Indonesia pada 2009
tumbuh 4,5% karena banyak aliran masuk ke Indonesia, dengan harga komoditas
yang naik, mempengaruhi pendapatan masyarakat. Memang ekonomi global buruk,
tapi ada booming komoditi," ujarnya di Plaza Mandiri, Senin (21/9/2015).
Saat krisis 2008, kondisi perekonomian
nasional masih kuat dengan harga komoditas yang tinggi mendorong investasi di
dalam negeri.
Indonesia yang bergantung pada
komoditas saat itu juga memperoleh keuntungan karena banyak wilayah bergantung
pada komoditas. Komoditas inilah membuat pendapatan dan daya beli masyarakat
menjadi meningkat.
"Booming komoditi memang high
leverage, jadi leverage-nya memang tinggi sehingga sektor keuangan ada
likuiditas. Apalagi ada stimulus, mereka tidak mungkin taruh lagi di sektor
keuangan," katanya.
Destry menuturkanharga komoditas ini
tertekan dan menurun sejak 2012 sehingga ekonomi Indonesia mengalami
deselerasi.
Sebab, para investor menyadari
pelemahan ekonomi global membuat orang menarik investasi pada komoditas.
Prediksi tahun 2016 kalau dilihat-lihat
pertumbuhan ekonomi Amerika yang membaik dengan penurunan jumlah pengangguran
memberikan harapan positif terhadap perekonomian yang diwujudkan dengan
konfirmasi kenaikan suku bunga The Fed.
Kenaikan suku bunga the Fed dapat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bergerak lagi. Apa dampak positif terhadap Indonesia yang bisa kita garisbawahi?
Pertama, seperti yang sudah sering dibahas bahwa konfirmasi kenaikan suku bunga The Fed justru lebih memberikan kepastian kepada pasar dan investor, khususnya investor di BEI. Oleh sebab itu volatilitas di bursa maupun spekulasi kemudian jadi mereda.
Kedua, pengumuman paket stimulus ekonomi berikutnya dari pemerintah diharapkan bisa menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif dan mendukung pertumbuhan ekonomi di 2016 ini. Mundurnya beberapa pejabat di pemerintahan, dipersepsikan, memberikan indikasi mulai tumbuhnya budaya 'malu' sehingga memberikan efek positif.
Ketiga, Kebijakan tax amnesty, yang sebenarnya bisa menimbulkan reaksi positif dan negatif di berbagai kalangan. Tapi apabila berhasil dilaksanakan dan kemungkinan besar akan disusul dengan penurunan tarif pajak korporasi dan individu.
Keempat, Kemungkinan besar adanya reshuffle alias pergantian menteri yang apabila menteri-menteri baru tersebut termasuk orang yang bisa diterima pasar, maka bisa memberikan sentimen positif terhadap pasar dan iklim investasi di Indonesia.
Terakhir, terlihat bahwa Investor asing sudah mulai masuk kembali ke pasar Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada terjadinya dana masuk atau inflow di SBN, demikian juga kepemilikan asing pada Surat Utang Negara / Pemerintah kita yang masih cukup tinggi dan diminati.
Kenaikan suku bunga the Fed dapat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bergerak lagi. Apa dampak positif terhadap Indonesia yang bisa kita garisbawahi?
Pertama, seperti yang sudah sering dibahas bahwa konfirmasi kenaikan suku bunga The Fed justru lebih memberikan kepastian kepada pasar dan investor, khususnya investor di BEI. Oleh sebab itu volatilitas di bursa maupun spekulasi kemudian jadi mereda.
Kedua, pengumuman paket stimulus ekonomi berikutnya dari pemerintah diharapkan bisa menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif dan mendukung pertumbuhan ekonomi di 2016 ini. Mundurnya beberapa pejabat di pemerintahan, dipersepsikan, memberikan indikasi mulai tumbuhnya budaya 'malu' sehingga memberikan efek positif.
Ketiga, Kebijakan tax amnesty, yang sebenarnya bisa menimbulkan reaksi positif dan negatif di berbagai kalangan. Tapi apabila berhasil dilaksanakan dan kemungkinan besar akan disusul dengan penurunan tarif pajak korporasi dan individu.
Keempat, Kemungkinan besar adanya reshuffle alias pergantian menteri yang apabila menteri-menteri baru tersebut termasuk orang yang bisa diterima pasar, maka bisa memberikan sentimen positif terhadap pasar dan iklim investasi di Indonesia.
Terakhir, terlihat bahwa Investor asing sudah mulai masuk kembali ke pasar Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada terjadinya dana masuk atau inflow di SBN, demikian juga kepemilikan asing pada Surat Utang Negara / Pemerintah kita yang masih cukup tinggi dan diminati.
Gubernur BI Agus Martowardojo menuturkan, dari perhitungan, pertumbuhan ekonomi tahun depan belum menembus 6 persen.
"Mungkin kami masih belum lewat dari 6 persen," kata Agus di Jakarta, Rabu (20/5).
Agus Marto menuturkan, rendahnya prediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini versi BI banyak dipengaruhi berbagai hal, salah satunya harga komoditas andalan yang rendah.
Walau lebih rendah, bank sentral sesumbar tahun depan merupakan waktu kembalinya gairah ekonomi tanah air. Sebab Agus memprediksi justru lebih baik dibanding tahun ini.
Agus tak menampik bakal banyak tantangan dalam pertumbuhan ekonomi tahun 2016.
Refrensi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar