Akhirnya
bel sekolahku berbunyi. Pelajaran matematika pun otomatis berakhir. Setelah
lama rasa penat mengumpul di otakku. Buku-buku yang tadinya berserakan,
kurapihkan segera dan kumasukkan ke dalam tas. Aku pun langsung menghampiri
sahabatku di kelas 85 yang tak jauh dari kelas yang ada di 83.
“Nang, bareng nang!” teriaku dari luar kelas 85.
“Iya sabar, lagi masukin buku nih!” ucapnya sambil menggerutu. Nama sahabatu ialah Yosua Monang dan biasa di panggil Monang alias “Monyet Nangkring”. Begitulah setiap hari kami memanggil namanya. Biasanya kami pulang berlima. Tetapi sahabatku yang lain sedang ada urusan di kelasnya masing masing.
“Iya sabar, lagi masukin buku nih!” ucapnya sambil menggerutu. Nama sahabatu ialah Yosua Monang dan biasa di panggil Monang alias “Monyet Nangkring”. Begitulah setiap hari kami memanggil namanya. Biasanya kami pulang berlima. Tetapi sahabatku yang lain sedang ada urusan di kelasnya masing masing.
“Ayo balik. Kita berdua ajah nih?” tanyanya.
“Yoman masbrow” jawabku dengan gaya reagge. Kami pun melanjutkan perjalanan kami. Tidak lupa rutinitasku, membeli cimol bang Jones setiap pulang sekolah. Entah kenapa aku selalu berselera setiap melihat bang Jones menjajakan dagangannya.
“Yoman masbrow” jawabku dengan gaya reagge. Kami pun melanjutkan perjalanan kami. Tidak lupa rutinitasku, membeli cimol bang Jones setiap pulang sekolah. Entah kenapa aku selalu berselera setiap melihat bang Jones menjajakan dagangannya.
Sambil
berjalan, kami menghabiskan cimol kami. Disaat ingin membeli minum, kami
berjumpa dengan Awan. Teman akrab kami sewaktu kelas 7.
“Wan, bareng tidak? Tanya Monang pada Awan.
“Ya udah. Aku juga lagi sendiri nih.” jawabnya. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan kami memasuki gang, jalanan menjadi lebih sepi dan sunyi. Padahal jam segini anak-anak sudah pulang sekolah.
“Ya udah. Aku juga lagi sendiri nih.” jawabnya. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan kami memasuki gang, jalanan menjadi lebih sepi dan sunyi. Padahal jam segini anak-anak sudah pulang sekolah.
Cimolku
pun habis. Begitu pula cimol Monang. Seraya meneguk segarnya air mineral, kami
melihat ada 3 Pria berseragam SMA. Yang satu orang sedang berjongkok sambil
memegan HP, dan yang lainnya duduk di motor sambil memandangi kami dengan
tatapan sinis. Sebelumnya tidak ada rasa curiga di benakku. Tapi setelah
beberapa saat, tingkah mereka mulai aneh.
“Te,
hati-hati. Jangan sampai kepancing.” ucap Awan menenangkan diriku. Aku pun
memberanikan diriku untuk berjalan paling depan. Ku rilekskan tubuhku agar tak
memancing rasa curiga. Tiba-tiba seorang Pria yang berambut gondrong
mencegatku.
“Hey
anak muda, cepat beri kami uang.” ucap laki-laki yang berkacamata.
Penampilannya yang kece, kurasa tidak cocok sebagai pemalak.
“Maaf bang, saya tidak ada uang lagi. Nih tinggal
buat ongkos.” ucapku berbohong.
Aku pun lolos dari pemalakan tersebut. Tak berselang lama, Awan pun juga lolos dari kepungan anak muda tersebut. Namun Monang sepertinya mengalami kesulitan untuk melewati orang orang itu. Terlebih uang seratus ribu di sakunya menonjol keluar. Tentu saja orang orang itu tidak mempercayai kata kata Monang.
Aku pun lolos dari pemalakan tersebut. Tak berselang lama, Awan pun juga lolos dari kepungan anak muda tersebut. Namun Monang sepertinya mengalami kesulitan untuk melewati orang orang itu. Terlebih uang seratus ribu di sakunya menonjol keluar. Tentu saja orang orang itu tidak mempercayai kata kata Monang.
“Nang,
jangan kasih uangnya nang!!” teriak Awan membela Monang sambil berlari ke arah
Monang. Ia kemudian menarik tangan Monang dan berlari menjauhi pemalak
tersebut. Tapi tak disangka pukulan keras melayang ke wajah Awan. Pukulan itu
membuat dirinya tidak seimbang dan hampir terjauh. Ternyata seorang pria yang
berkumis tipislah yang memukul Awan. Spontan, insting pria sejati dalam diriku
bergejolak.
“Hey,
Sialan kalian!!!” teriaku sambil berlari menghampiri pemalak tersebut. Kupukul
sekeras kerasnya pria yang memukul Awan tadi. Pria itu kesakitan sambil
memegang bibirnya. Kulihat bibirnya yang berkumis tipis menngeluarkan darah
segar. Urusannya makin gawat ini, ucapku dalam hati. Ingin rasanya aku kabur
secepat mungkin namun aku tak tega meninggalkan kedua sahabatku ini.
Tiba
tiba seorang pria dengan rambut gondrong mengeluarkan sebilah parang dari dalam
sweater gombrongnya itu. Sepertinya aku tau kenapa banyak anak STM yang
mengenakan sweater gombrong. Ia pun menodongkan parangnya tepat ke arah dadaku.
“Apa
maksudmu memukul temanku? Mulai lancang kalian ya.” ucapnya sambil mengancamku.
Seketika tubuhku terbujur kaku. Namun tidak ada rasa penyesalan terhadap
diriku. Peristiwa tadi membuat rasa percaya diriku semakin tinggi dan semakin
menggebu gebu.
“Tadi teman abang duluan yang memukul temen saya.
Saya tidak terima bang diperlakukan seperti itu.” belaku.
“Sudah mulai ikut campur kalian. Cepat keluarkan dompet dan HP kalian! Jika tidak, akan kubelah kepala kalian!! gertak pria itu. Aku bingung harus berbuat apa, sementara disana kedua temanku sedang terkapar setelah di gebukin oleh pria yang berkacamata dan pria yang berkumis tipis.
“Sudah mulai ikut campur kalian. Cepat keluarkan dompet dan HP kalian! Jika tidak, akan kubelah kepala kalian!! gertak pria itu. Aku bingung harus berbuat apa, sementara disana kedua temanku sedang terkapar setelah di gebukin oleh pria yang berkacamata dan pria yang berkumis tipis.
“Sumpah
bang uang saya tinggal seribu rupiah. Pas sekali untuk ongkos. Tega sekali kau
bang.” ucapku memelas. Namun pria itu malah merogoh rogoh saku kantongku, dan
dia pun menemukan dompetku.
“Nah,
ini dia. Kalian tidak akan bisa menipu kami” ujarnya. Dia pun menyimpan
dompetku di dalam sakunya. “Sekarang ikut kami. Jangan melawan, turuti saja
perintah kami” ajak pria itu sambil menodongkan parangnya ke punggungku. Entah
kami mau dibawa kemana kami pasrah saja. Sebab tak ada yang bisa kami lakukan
selain berdoa dan meminta pertolongan.
Kami pun
sampai di sebuah rumah kosong. Di dalam rumah itu kuihat ada beberapa pria yang
sedang berpesta nark*ba. Seketika jantungku berdegup kencang. Seperti getarnya
daring HP ku. Ya, HP ku bordering di saat yang tidak memungkinkanku untuk
menjawab panggilan itu.
“Nah,
itu ada suara HP. Keluarinlah cepet keluarin!” pria itu menyuruhku sambil
tersenyum. Saat aku akan mengeluarkan HP, ku tukar HPku dengan sebuah pulpen
yang ada di tasku.
“Ciaaattt!!!” kutancapkan pulpen runcing itu kuat
kuat ke paha pria yang berambut gondrong. Tapi tidak sampai menembus tulangnya.
“Argghhhh… Sakit!!!” jerit pria itu. Aku pun mengeluarkan jurus yang pernah diajarkan guru bela diriku. Aku pun memukul kedua pria yang memegang kedua temanku. Tapi tidak berhasi. Tingkahku itu hanya memperbesar masalah. Akupun dibawa ke rumah kosong dan dipukuli beramai ramai. Rasa sakit yang kurasakan membuat adrenalinku semakin berpacu. Nafasku tersengal sengal karena kekurangan oksigen.
“Argghhhh… Sakit!!!” jerit pria itu. Aku pun mengeluarkan jurus yang pernah diajarkan guru bela diriku. Aku pun memukul kedua pria yang memegang kedua temanku. Tapi tidak berhasi. Tingkahku itu hanya memperbesar masalah. Akupun dibawa ke rumah kosong dan dipukuli beramai ramai. Rasa sakit yang kurasakan membuat adrenalinku semakin berpacu. Nafasku tersengal sengal karena kekurangan oksigen.
Mereka
pun menghentikan aksinya. Mereka memegangku beramai ramai dan mengikat lengan
kananku dengan sebuah tali. Lalu pria dengan kacamata mengambil sebuah suntikan
yang sudah diisi obat. Akupun memberontak semakin keras, namun itu hanya membuat
diriku kehabisan stamina. Saat akan disuntik, aku merasa kaki kananku terasa
lepas. Kesempatan itu aku gunakan untuk menendang suntikan itu sampai terlempar
keluar rumah.
Tiba
tiba seorang pria dengan wajah menyeramkan dan membawa samurai yang panjangnya
kira kira 1,5 m datang dari bilik kamar kosong. Sepertinya pria itu sudah
memperhatikanku sejak tadi.
“Beraninya
kau! Apa kau sudah bosan hidup? Lebih baik kau tidak melawan daripada nanti aku
harus mengakhiri hidupmu.” ucapnya mengancamku. Aku bingung sekali. Kulihat
Monang dan Awan sudah terikat kuat di sudut ruangan. Mereka pun belum sadarkan
diri sejak tadi. Aku benar benar bingung dan sangat bingung.
“Hikaru,
ambilkan suntikan tadi. Anak ini harus di beri pelajaran” Ucap pria tadi pada
salah satu temannya.
“Siap
boss.” pria yang bernama Hikaru pun mengambil suntikan yang tadi ku tendang
sampai terlempar keluar. Mereka pun memegang erat kedua kaki dan tanganku. Pria
yang memegang samurai, mengambil suntikannya dan menyuntikku. Rasa sakit yang
kurasakan sangat menyakitkan. Kepalaku seperti mau meledak. Aliran obat yang
mengalir lewat pembuluh darahku, membuat detak jantungku semakin melemah.
Perasaan rileks kemudian meyelimutiku. Tubuhku terasa ringan. Aku mulai
berhalusinasi. Aku melihat semua teman temanku sedang mengelilingku. Mereka
semua tampak bahagia sambil memegang segelas alkohol di tangan mereka. Tiba
tiba mereka semua berpamitan dan pulang. Mereka keluar lewat pintu depan dan
meninggalkan ku seorang diri. Tak lupa yang terakhir keluar, menutup pintu itu.
Aku merasa kesepian. Aku menunggu seseorang datang menjemputku dan membawaku
keluar dari rumah kosong ini. Tak berselang lama, seorang wanita membuka pintu
dan masuk menjemputku. Wanita itu terlihat cantik dan menawan. Wajahnya yang
cantik jelita, mengalihkan duniaku. Aku belum pernah bertemu dengannya, namun
dia merasa akrab denganku.
“Hai
Ote. Maaf ya membuat kamu menunggu lama.” suaranya yang indah membuatku
terhipnotis. Hmmm… Mungkin inilah yang namanya jatuh cinta pada pandangan
pertama hahaha.
“Te, kok
kamu malah senyum senyum. Ayo kita pulang. Aku sudah sangat rindu ingin
bercanda tawa denganmu.” ujarnya. Kenapa dia bisa rindu padaku? Padahal aku
sendiri belum tau namanya. Bagaimana dia bisa kenal denganku.
“Ehmm..
Maaf sebelumnya. Aku belum kenal dirimu. Mungkin aku lupa atau kita benar benar
belum pernah bertemu. Bisa tolong perkenalkan dirimu?” tayaku padanya. Bukannya
aku kepo, tapi memang aku ingin kenal lebih dekat lagi.
“Ote,
kamu amnesia yah? Ikhh becanda mulu. Emang nih kamu gak pernah berubah dari
dulu hahaha. Ayo te, jangan lama lama. Udah gerimis tuh” ujarnya sambil
menunjuk langit langit rumah yang bocor karena air hujan. Aku benar benar
bingung darimana bidadari berasal. Aku pun menurutinya dan mengikutinya. Saat
sedang menyusuri jalan setapak, kulihat seorang pria tengah menunggangi kuda
putih. Pria itu datang menghampiri kami.
“Maaf
Ote, wanita yang di sampingmu harus menjalankan tugasnya lagi. Sampai sini kau
harus melaluinya seorang diri.” ucap pria itu. Wanita itu pun naik ke kuda
putih.
“Te Maaf
ya. Sepertinya kita tidak bisa berlama lama. Mungkin lain waktu kita akan
bertemu kembali” salam perpisahannya membuat hatiku terasa dingin. Mereka pun
pergi. Kulihat kabut putih mulai menutupi kepergian mereka. Kini aku sendiri
lagi. Rintik hujan mulai bertambah deras. Aku ingin berteduh, namun tak ada
satu pun rumah disini. Kepalaku mulai terasa pusing. Tubuhku mulai terasa
berat.
“Haahh!!”
aku terbangun dari ketidaksadaranku. Kulihat sekelilingku masih seperti rumah
kosong tadi. Sepertinya orang orang tadi sudah kabur dan meninggalkan kami.
Monang dan Awan sedang berusaha melepas ikatan mereka.
“Nang,
sorry nang soal tadi. Ayo kita kabur, tempat ini gak aman.” aku pun berusaha
membuka ikatan Mereka. Dan akhirnya berhasil. Kami pun segera berlari menuju ke
rumah kami dan bersiap melaporkan kejadian tersebut. Hari sudah mulai gelap.
Namun hiruk pikuk jalanan tetap saja tidak pernah hilang.
Kami pun
segera naik angkutan 03. Saat masuk, aku melihat wanita yang tadi masuk
halusinasiku. Mungkinkan atau kebetulan. Aku pun memberanikan diriku untuk
bertanya.
“Maaf
nona, apa kita pernah bertemu?” tanyaku padanya. Aku yakin wanita ini sama
dengan wanita yang ada di halusinasiku tadi.
“Maaf
mas, sepertinya tidak pernah” jawabnya. Kenapa dia tidak mengenalku? Kenapa
keadaan jadi terbalik. Aku bingung sekali. Ah, biarkan sajalah. Mungkin itu
hanya kebetulan saja. Aku tidak lagi memikirkan hal itu.
Tiba
tiba sebuah truk container menabrak angkutan kami sampai terjungkal ke bibir
jalan. Kulihat teman temanku dan penumpang tadi sudah tidak ada. Aku bingung
dan merasakan sakit kepala yang luar biasa.
—
“Te,
bangun te. Jangan tidur terus. Dari jam pelajaran pertama kamu gak bangun
bangun” suara Vita membangunkanku. Ternyata semua itu cuman mimpi. Mimpi yang
cukup buruk. Aku pun terdiam memikirkan hal tersebut. Aku hanya memandangi
ruangan UKS yang cukup usang ini. Aku sangat bingung dengan semua ini. Aku
tidak tahu kenapa ini bisa mempengaruhi pola berfikirku. Aku hanya terdiam
dengan tatapan kosong. Menunggu wanita itu datang untuk ketiga kalinya.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar